Ini kisah nyata dari desa di pedalaman Kalimantan Selatan, tepatnya di Kecamatan Paramasan Kabupaten Banjar. Kisah ini menyangkut kehidupan sosial dan pendidikan di desa yang terkenal kaya akan sumber daya alam.
Desa ini terletak di perbatasan Kabupaten Banjar dan
Tanahbumbu Kalsel. Karena kekayaan alamnya yang melimpah, wilayah ini diperebutkan dua kabupaten ini selama beberapa tahun terakhir. Kedua daerah yang berseteru ini sama-sama berdalih, bahwa sikap
mereka mempertahankan daerah perbatasan ini karena ingin memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan argumennya masing-masing, kasus ini sudah masuk ke ranah hukum, bahkan hingga ke Mahkamah
Konstitusi, MK.
Dari penelusuran, desa ini terkenal kaya hasil tambang seperti biji besi, mangan, emas dan batu bara. Letaknya yang berada di lereng bukit Meratus, membuat kawasan ini sangat sejuk. Alamnya
sangat indah dengan pohon-pohon tua dan langka. Bunga-bunga anggrek dan tanaman hias lainnya banyak bertebaran di hutan yang masih perawan. Di beberapa tempat banyak juga ditemukan pohon pasak bumi
yang terkenal sebagai obat kuat orang Dayak yang kesohor itu.
Masuk ke desa ini, kita serasa dibawa ke peradaban masa silam nan damai. Penduduknya sangat ramah. Mereka sangat menyatu dengan alam, menanam dan mengambil apa yang diperlukan saja. Mereka tak
mau mengambil berlebih untuk ditimbun atau dijual dalam ukuran di luar batas kewajaran.
Listrik PLN belum masuk ke desa ini, hanya ada beberapa genset sumbangan pemerintah daerah dan pembangkit tenaga surya milik kepala desa saja. Selebihnya, kalau malam gelap gulita. Masyarakat
setempat sangat bersahaja.
Terakhir kali, saya ke desa ini setahun lalu. Saat itu masih panas-panasnya suasana desa akibat perebutan daerah perbatasan ini. Masyarakat desa yang biasa hidup tentram itu menjadi bergolak karena ada beberapa pihak yang memanas-manasi mereka. Beruntung tak terjadi kerusuhan.
Seperti umumnya masyarakat yang hidup di lingkungan perdesaan, warga setempat cenderung menikah usia muda. Banyak anak perempuan usia SD terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolah karena keburu menikah. Banyak orangtua terpaksa merelakan anak perempuannya yang masih berusia belasan untuk menikah karena takut tidak laku.
Namun, tidak demikian dengan Rufiana dan Samkuriah. Keduanya masih berusia 14 tahun, dan masih duduk di bangku kelas 6 SDN Paramasan Bawah 3 yang dulunya bernama SD Mekar Sari. Keduanya merupakan perempuan terakhir di SD ini, karena kawan-kawan
perempuannya yang lain sudah menikah sehingga tak bisa melanjutkan sekolah.
Keduanya adalah warga Dusun Danau Huling yang terletak di lereng Pegunungan Meratus. Jalan di desa ini tak beraspal, sehingga licin saat hujan gerimis, dan tak bisa dilewati saat hujan deras karena jalan itu berubah jadi kubangan lumpur.
Keduanya harus berjalan kaki sejauh delapan kilometer tiap hari dari rumahnya ke sekolah yang terletak di Dusun Emil. Memang, di dusun mereka ada SDN Paramasan Bawah 4. Namun, karena keterbatasan bangunan fisik, infrastruktur dan SDM pengajar,
sekolah ini hanya sampai kelas 4 saja, selebihnya siswa harus melanjutkan ke SDN Paramasan Bawah 3.
Berdasarkan administrasi di Kecamatan Paramasan, Kabupaten Banjar, Dusun Danau Huling dan Dusun Emil adalah bagian dari Desa Paramasan Bawah. Namun saat ini, kawasan itu masuk wilayah sengketa tapal batas antara Pemkab Banjar dengan Tanbu.
Perjalanan dari dusun mereka sampai ke sekolah hanya dua kilometer yang beraspal. Selebihnya adalah jalan tanah dengan tanjakan-tanjakan. “Kalau jalannya putus, terpaksa tidak sekolah,” ujar Rufiana diamini Samkuriah.
Mungkin hanya faktor alam itulah yang membuat kedua gadis keturunan Dayak Paramasan ini tidak turun sekolah. Selebihnya, mereka tetap bersemangat untuk sekolah, meski berhadapan dengan keterbatasan. Menurut mereka, tiga siswi kelas 6 SDN Paramasan 3
lainnya baru saja berhenti sekolah karena menerima lamaran pria yang mengajaknya menikah.
“Kawin bisa aja kaina. Tapi sakulah mun kada wayah ini pasti kada tagawi lagi (Menikah bisa saja nanti. Tapi sekolah kalau tidak sekarang, kapan lagi),” kata Rufiana.
Tekad mereka untuk tetap bersekolah bukannya tanpa godaan. Sudah ada beberapa pria yang mengajaknya menikah, baik secara langsung maupun melalui orangtua mereka. “Banyak ai yang melamar. Tapi masih anum jua umur. Kawa aja kaina-kaina kawinnya. Soalnya
amun sudah kawin kada kawa lagi sakulah. (Sudah banyak yang melamar. Tapi umur masih muda. Bisa saja nanti-nanti menikahnya. Sebab kalau sudah menikah tidak bisa lagi sekolah,” timpal Samkuriah.
Sampai kapan mereka akan berusaha tetap bersekolah? “Kahandak sampai SMA. Biar kawa jua begawi kantoran. (Keinginan sampai SMA. Supaya bisa kerja kantoran),” ucap Samkuriah disambut anggukan
Rufiana.
“Kita sudah coba memberi pengertian kepada anak dan orangtua mereka. Tapi toh tetap saja bangku sekolah yang ditinggalkan karena kondisi sosialnya sudah tertanam seperti itu,” ujar Plh Kepala SDN
Paramasan 3, Saripudin.
Tidak hanya menikah di usia dini, kegiatan belajar mengajar di kawasan ini juga kerap terhambat saat musim tanam tiba. “Iya seperti apa yang kita lihat sekarang. Ruang kelas kosong. Saat musim baugal (tanam) seperti sekarang, banyak murid tidak hadir.
Mereka harus membantu orangtua menanam padi di lereng-lereng bukit,” ucapnya.
Akibatnya, dari 39 murid yang ada di sekolahan itu, hanya 12 orang saja yang tampak duduk di dalam kelas, selebihnya memilih absen karena harus menanam padi.
Met tahun baru
apakah ini juga tulisan terakhir?
semoga tidak ya?
Saya kagum dg kisah nyata ini..
Saya sempat bertemu mereka ‘Rufiana dan samkuriah’ thn 2010 lalu ktka mengajar sbg honorer d’ SDN P.bawah 4 karena sakit n jauh dari keluarga saya berhenti. 2010 lalau mereka sdc smp n kata x skrang sdc lulus Smk..
Yg sya liat bxk tmbang liar,kepunahan fauna n flora.
Bunga anggrekpun jarang terlihat,banyak tangan jahil dari kota….